Alat Bukti dan Barang Bukti

Kadang-kadang istilah ini suka membuat ketelingsut membedakannya menurut saya. Namun konsep sederhananya yang saya pahami dalam pelatihan matrikulasi hukum yang diajarkan oleh senior saya dan sangat mudah dipahami saat itu adalah sebagai berikut :

“ Begini mas sederhananya, alat bukti itu adalah sesuatu yang jika dihadirkan ke hadapan hakim dapat bercerita sendiri, kalau barang bukti adalah sesuatu yang jika dihadirkan masih belum bisa bercerita sendiri”

 

Nah loh hampir bingung kan?


 

Jadi begini ceritanya :

 

Kalau barang bukti belum bisa bercerita sendiri, maka yang dapat menceritakan keterkaitan barang tersebut dengan perkara yang disidangkan dimuka pengadilan adalah terdakwa, saksi, ahli, surat dan petunjuk (penjelasannya lihat KUHAP Pasal 184 ayat (1) mengenai alat bukti). Keterangan terdakwa, saksi, ahli, surat dan petunjuk itulah yang kelak akan menjadi alat bukti, yang dapat dipergunakan oleh hakim sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan.

 

Untuk membantu anda yang tidak mendalami ilmu hukum untuk memahami konsep penting tersebut, berikut saya berikan contoh mudahnya.

 

Anggap saja kasusnya pembunuhan :

  1. A melakukan penipuan kepada B dengan menjual barang palsu, sehingga B rugi dan perusahaannya bangkrut karena tidak dipercaya kliennya. Barang palsu tersebut adalah barang bukti. Menunjukkan saja barang palsu itu ke hadapan hakim tidak akan membuat hakim memperoleh informasi mengenai peran A dalam kasus penipuan itu, karena sebagai benda mati hakim tentu saja tidak bisa menanyai si barang palsu saat proses sidangnya
  2. Oleh karena itu, sebelum ditunjukkan di saat persidangan, penyidik akan membawa barang palsu itu ke seorang ahli untuk diminta keterangannya sehubungan dengan barang palsu dimaksud. Sang ahli akan menjelaskan apakah barang tersebut palsu lengkap dengan detil sesuai keahliannya.
  3. Pendapat sang ahli yang dibuat secara tertulis, kelak dapat dihadirkan ke persidangan sebagai alat bukti yaitu SURAT.
  4. Setelah dibawa pada ahli, penyidik akan mencari keterangan atau mengklarifikasi mengenai barang palsu tersebut dari tersangka dan saksi, misalnya dengan menanyakan : apakah tersangka/saksi pernah melihat barang palsu tersebut dan dimana pembeliannya, apakah tersangka memang benar membeli barang palsu tersebut untuk kemudian dijual kepada si B, apakah tersangka yang menjual barang palsu tersebut kepada si B, dll. Jawaban dari tersangka dan saksi akan dicatat dalam sebuah Berkas Acara Pemeriksaan (BAP). Kelak BAP tersebut dapat dihadirkan ke persidangan sebagai alat bukti yaitu SURAT.
  5. Dalam persidangan nanti, keterangan terdakwa, saksi, dan ahli, masing-masing akan bernilai sebagai alat bukti.
  6. Berdasarkan keterangan terdakwa, saksi, atau ahli itulah hakim dapat menarik alat bukti yaitu PETUNJUK.
  7. Pada akhir persidangan, SURAT, KETERANGAN TERDAKWA, KETERANGAN SAKSI, KETERANGAN AHLI, dan PETUNJUK itulah yang dapat menjadi landasan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan sesuai dengan pasal yang disangkakan yaitu penipuan.


Kurang lebih sedikit pengetahuan yang bisa dibagikan. Mohon maaf jika ada yang kurang tepat.

 

Semoga bermanfaat. Salam.

Comments

Popular posts from this blog

SEKILAS MENGENAL AKUNTANSI TERAPAN

9 TITIK TOTOK SYARAF UNTUK BERHENTI MEROKOK

LEARN ABOUT AURA