Asas Sunrise & Sunset dalam Sistem Peradilan Pidana
I. Asas Sunrise
Penetapan tersangka hanya berdasarkan bukti permulaan sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 14 KUHP menjelaskan :
Pasal 1
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana
Hal ini pada dasarnya merupakan perwujudan dari asas
sunrise dalam sistem peradilan pidana dimana artinya,
seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sesegera mungkin ditetapkan
sebagai tersangka dan diproses secara hukum untuk secepatnya diadili. Landasan
filosofis dari prinsip ini adalah agar pelaku tidak lepas begitu saja dari
jerat hukum. Sebagai penyeimbang asas sunrise, dalam
sistem peradilan pidana dikenal juga dengan asas sunset.
II. Asas Sunset,
Asas ini menjelaskan apabila
seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam pemeriksaan lebih
lanjut tidak ditemukan bukti permulaan yang cukup atau bukti yang cukup, maka
perkara tersebut segera dihentikan.
Landasan filosofis dari prinsip ini bukanlah untuk menghukum orang yang tidak bersalah. Sunset asas diatur dalam KUHP berdasarkan :
Pasal 109 Ayat (2)
“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya”.
Hal ini berisi tentang perintah penghentian penyidikan; dan
Pasal 140 Ayat (2) huruf a,b,c dan d
a. Dalam
hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak
pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut
dalam surat ketetapan.
b. Isi
surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan,
wajib segera dibebaskan.
c. Turunan
surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau
penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim.
d. Apabila
kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan
terhadap tersangka
Hal ini terkait dengan penetapan penuntutan. Berdasarkan kedua asas tersebut dapat dipahami bahwa legalitas penetapan tersangka tidak dimaksudkan sebagai kompetensi praperadilan menurut KUHAP .
Hal ini tentu berbeda dengan penetapan tersangka oleh KPK
ketika masih menggunakan UU Nomor 30 Tahun 2002. Berdasarkan undang-undang
tersebut, KPK hanya mengakui prinsip sunrise tanpa diimbangi
dengan prinsip sunset menurut salah satu mentor matrikulasi hukum
pada saat itu. Hal ini karena pasal 40 UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pisana Korupsi secara tegas melarang KPK
menghentikan penyidikan dan penuntutan sebagaimana bunyi pasalnya :
“Komisi Pemberantasan Korupsi tidak
berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan
dalam perkara tindak pidana korupsi”
Hal ini artinya, begitu seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK RI, sudah bisa dipastikan orang tersebut akan ditempatkan di kursi pesakitan sebagai terdakwa dalam perkara Tindak Pidana Korupsi. Namun itu dahulu, mengingat semenjak diterbitkannya UU No.19 Tahun 2019 tanggal 17 Oktober 2019 maka pasal 40 juga sudah mengalami perubahan yaitu :
Pasal 40
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
2. Penghentian
penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan
kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak
dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.
3. Penghentian
penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diumumkan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik.
4. Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dicabut oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.
Setelah penetapan tersangka harus dilanjutkan dengan penahanan berdasarkan kondisi objektif sesuai Pasal 21 Ayat 4 KUHP yaitu :
Pasal 21 ayat 4 :
4. Penahanan
tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan
tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana
tersebut dalam hal:
a. tindak
pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat
(1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a,
Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie
(pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan
Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang
Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara
Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47,
dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara
Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086)
Selanjutnya sesegera mungkin dibawa ke pengadilan agar ada kepastian hukum tentang kebenaran tersangka kejahatan korupsi.
Comments
Post a Comment